2. Ini Masih dalam perbaikan, dari http://balaiadat-marawa.blogspot.co.id


Mudah dan Jelas bukan??


Kasih Komentar Dong

Sabtu, 29 Oktober 2011

Alam Minangkabau


Asal Mulo Luhak Terjadi
 Dikisahkan  masa  dulunya,  tiga  orang  anak  raja  dari  tanah  Hindu  pergi  keluar  dari negerinya  mencari  tanah  jajahan  baru.  Seorang  bernama  Seri  Maharaja  Depang, bersama  beberapa  pengiringnya  menuju  ke  arah  timur,  ke  arah  benua  Cina,  lalu menyeberang  ke  tanah Jepang.  Seorang  lagi  bernama  Seri  Maharaja  Alif  bersama pengiringnya  pergi  ke  benua  Rum.  Dan  yang  seorang  lagi  Seri  Maharaja  Diraja berlayar  dengan  sebuah  perahu  menuju  ke  arah  matahari  terbit,  mencari  tanah daratan  bersama  dengan  lima  orang  istrinya  dan  beberapa  orang  pengiring, diantaranya  ada  yang  bergelar  Cati  Bilang  Pandai,  dikarenakan  sangat  pandainya orang  tersebut.  Mereka  semua  adalah  satu  kasta  (tingkatan).  Dulunya,  gelar  Cati Bilang  Pandai  hanya  digelarkan  untuk  orang  Hindu  saja,  tetapi  kemudian  gelar tersebut juga dipakaikan kepada orang asli Minangkabau.  Adapun  kelima  orang  istri  raja  tersebut  memiliki  tabiat  dan  perangai  yang berbeda-beda. Di dalam tambo dikisahkan sebagai berikut:   
Seorang  disebut  "Anak  Rajo",  dikarenakan  suka  bersolek  dan suka  memilih, terutama  dalam  hal  makanan.  Dia  amat  span  dan  santun  kepada  Seri Maharaja. 
Seorang  disebut  "Harimau  Campo",  karena  kelakuannya  "bagak" (pemberani, pemarah), bahkan juga kepada Seri Maharaja.   
Seorang  disebut  "Kambiang  Hutan",  karena  suka  berulam-ulam  daun  kayu dan makan sirih.   
Seorang disebut "Kuciang Siam", karena suka berjemur ditempat panas dan mendekat-dekat kepada Seri Maharaja.   
Seorang  disebut "Anjiang  Yang  Mualim",  karena  suka  berkehendak  ini  itu dan memberengut, bahkan juga kepada Seri Maharaja.  
Sekian  lama  berlayar,  sampailah  mereka  di  Pulau  Andalas  (Pulau  Perca).  Namun, sebelum sampai di daratan, kapal mereka tersekat oleh karang di Pesisir Barat pulau, lalu rusak.  Maka,  bermusyawarahlah  semuanya  bagaimana  cara  memperbaiki  perahu  tersebut. Cati-Cati  Bilang  Pandai-pun  berfikir,  bagaimana  cara  terbaik  dalam  pekerjaan tersebut.  Lalu  bertitahlah  Seri  Maharaja  kepada  seluruhnya,  bagi  siapa  yang  mengepalai pekerjaan  perbaikan  perahu  dan  dapat  memperbaiki  perahu  seperti  sedia  kala,  maka akan diangkat sebagai menantunya.  Lalu  pekerjaan  perbaikan  itu  dimulai.  Setelah  selesai,  mereka  meneruskan pelayarannya  dan  sampai  ke  daratan.  Lalu  mereka  mencari  perkampungan  yang  ada di daerah tersebut.  Masa itu, belum ada yang membuat jalan dikarenakan takut akan kedatangan musuh sampai  ketempatnya.  Karena  itu,  mereka  terpaksa  masuk  rimba  ke  luar  rimba,  naik gunung  turun  lembah.  Suatu  ketika,  mereka  melihat  cahaya  api  di  pinggang  Gunung Merapi.  Segeralah  mereka  menuju  ke  tempat  tersebut.

 Rupanya  sudah  ada  yang membuat  perkampungan  di  tempat  tersebut.  Kedatangan  mereka  disambut  dengan ramah oleh penduduk di kampung tersebut.  Dikarenakan  rombongan  Seri  Maharaja  lebih  pandai  dari  orang-orang  yang  di kampung  tersebut,  maka  banyaklah  ditunjukkan  peraturan-peraturan  yang  berguna. Oleh karena itu, penduduk asli kampung itu suka bergaul dengan rombongan tersebut dan  menurutkan  peraturan  yang  mereka  buat,  sehingga  kampung  itu  menjadi  aman dan teratur.  Menurut cerita, daerah tersebut tempatnya di daerah Pariangan. Tanahnya datar dan dilingkungi aur duri.  Disana,  juga  dibuat  tiga  buah  sumur,  juga  disebut  dengan  luhak  sebagai  tempat mengambil  air  minum  dan  untuk  mandi.  Satu  pada  tempat  yang  datar,  dinamakan "Luhak  Tanah  Data",  satu  lagi  dinamakan  "Luhak  Agam",  karena  banyak  tumbuh batang  agam  (sejenis mansiang,  yang  dapat  dibuat  sumpit  atau  tikar)  dan  satu  luhak lagi  airnya  jernih  dan  terletak  dibawah  batu.  Ketiga  aliran  sumur  itu  bertemu  pada suatu tempat yang dinamakan "Labuhan si Tambago".  Waktu  terus  berjalan,  kelima  orang  istri  raja  melahirkan  masing-masing  satu  orang anak  perempuan.  Makin  lama,  penduduk  makin  bertambah  dan  yang  datang  juga makin  banyak  sehingga  kampung  itu  menjadi  ramai  dan  teratur.  Setelah  dewasa, kelima  orang  putri  raja  dikawinkan  dengan  lima  orang  Cati  Bilang  Pandai  yang memperbaiki perahu raja dulu.  Karena penduduk semakin ramai, maka sepakatlah Seri Maharaja, Cati Bilang Pandai dan orang-orang tua untuk mencari tempat baru, mengatur taratak jadi dusun, dusun jadi koto dan koto menjadi negeri dalam alam ini.  Maka, putri raja yang ibunya Harimau Campo, bersama suaminya dan beberapa orang lainnya  yang  bersumur  di  Luhak  Agam,  turun  ke  balik  Gunung  Merapi.  Masing-masing mencari dusun untuk tempat tinggal. Maka, tempat itupun dinamakan dengan Luhak Agam.  Anak  raja  yang  ibunya  Kambiang  Hutan,  bersama  suami  dan  lima  puluh  orang pengikutnya berangkat dari dusun itu menuju ke arah hilir dibalik Gunung Sago. Lima orang  anggota  rombongan  tersebut  meneruskan  perjalanan  ke  Bangkinang  dan mendirikan  negeri  disana,  dengan  nama  Limo  Koto.  Sedangkan  rombongan mendirikan daerah baru yang diberi nama  Luhak Limo Puluah. Ketika inilah muncul pengertian  baru  untuk  luhak,  yaitu  kurang,  karena  pengikut  yang  tadinya  telah berkurang dari lima puluh.  Anak raja dari Anjiang Yang Mualim, bersama suaminya dan beberapa orang pengikut turun kesebelah selatan, ke daerah yang dinamai "Kubuang Tigo Baleh", karena telah ada tiga belas dusun dan koto disana.  Anak  raja  dari  Kuciang  Siam  bersama  suami  dan  pengikutnya  pindah  ke  daerah Canduang Lasi. Sedangkan yang seorang lagi tinggal disana, dan kampung telah diberinama dengan Luhak Tanah Data, yang akan mengatur dusun dan koto-koto disebelah selatan Gunung Merapi.  Luhak  Tanah  Data,  sebagai  luhak  yang  paling  tua,  dikiaskan  dengan,  aienyo  janieh, sayaknyo  landai, ikannyo  bakilek,  buminyo  dingin.  Luhak  Agam  dikiaskan  dengan Aienyo karuah, ikannyo lia, buminyo hangek. Luhak Limo Puluah sebagai luhak yang paling baru dikiaskan dengan Aienyo janieh, ikannyo jinak, buminyo tawa.  Adapun  orang-orang  Hindu  itu  juga  mengajarkan  juga  kepercayaan,  kesenian  dan kebudayaannya, sehingga sampai sekarang masih ada yang menghormati dewa-dewa, hantu,  jin  dan  setan.  Juga,  masih  ada  yang  mempercayai  batarak  (bertapa),  tempat-tempat  sakti  seperti  batu-batu  besar,  kayu-kayu  besar  atau  anak  air.  Selain  itu,  juga percaya  akan  ilmu  kuat  dan  kebal,  tuah  atau  keramat  senjata,  burung,  binatang-binatang, permata-permata dan lainnya.  elain  itu,  orang  Hindu  itu  juga  mengajarkan  cara  menghias  diri,  mengasah  gigi, mengikat  (mengepang)  rambut,  memberi  lubang  telinga  untuk  mengenakan  subang (anting). 

Karena makin berkembang dan bertambahnya penduduk dan tempat tidak muat lagi, maka  sebagian  turun  membuat  dusun  di  Patamuan.  Lama-kelamaan,  karena  makin bertambah juga, maka turun membuat koto di Lagundi Bida dan dinamakan "Lagundi Nan Baselo". Tempatnya di atas Pariangan sekarang ini.  Maka  disusunlah  peraturan-peraturan  negeri  dan  isinya,  yang  dikatakan  dengan kiasan:  Dima  banamo  baringin  sonsang,  disinan  nan  banamo  bukik  nan  indak barangin,  lurah  nan  indak  baraia,  basirangkak  hitam  kuku,  nan  babuayo hitam daguk  Disinan  mulo  anjing  manyalak,  disinan  mulo  basobok  banto  nan  barayun, alamaik tanah subur untuak ka sawah Oleh  ninik-ninik  tersebut,  dibuatlah  sawah  luas  setumpak,  yang  kemudian  diberi nama  "Sawah  gadang  satampang  banih",  yang  jadi  makanan  penduduk  pada  Luhak Nan  Tigo  (Luhak  Tanah  Data,  Luhak  Agam  dan  Luhak  Limo  Puluah)  ketika  datang berkumpul dan bermusyawarah di Balai Nan Panjang.  Sekian lama, dusun tersebut menjadi koto, dan dinamai dengan Koto Kaciak. Diantara Koto  Kaciak  dengan  Lagundi  Nan  Baselo  terdapat  sebuah  aliran  sungai  "Batang Bengkaweh". Inilah yang menjadi kata-kata kiasan:  Aie  gadang  manangah  koto,  kilek-mangkilek  kasieknyo,  aienyo  janieh tapiannyo  suci,  batu  gadang  basusun-susun,  batu  ketek  tindih-manindih, anak  pinang  balirik,  baringin  liritan  payuang,  anak  kubang  selo-manyelo, tampek banaung katiko kapanasan, tampek bataduah katiko kahujanan Adapun  daerah  sebelah  selatan  Gunung  Merapi,  yang  bernama  Luhak  Tanah  Data, juga  dibagi-bagi,  yaitu  Ranah  Batusangka,  Batipuh  Sapuluah  Koto,  Lintau  dan  Buo, lalu ke Sumpur Kudus, masuk juga Duo Puluah Koto dengan Kubang Tigo Baleh, lalu ke  Koto  Nan  Sambilan  dan  Koto  Tujuah,  Supayang,  Alahan  Panjang,  lalu  ke  RanahSungai  Pagu.  Kebesarannya  berdaulat  Yang  Dipertuan  Raja  Alam,  yaitu  Raja Pagaruyung.  Dari Luhak Tanah Data dan Batipuah Sapuluah Koto manurun (menyebar) ke Padang, Ujung  Karang,  Pauh,  Koto Tangah,  Sintuak,  Lubuak  Aluang,  Toboh,  Pakandangan, Ulakan, Kurai Taji dan Pariaman.  Orang Kubuang Tigo Baleh menyebar pula ke Tarusan, Salido hingga Aie Haji.  Adapun  daerah  dibalik  Gunung  Merapi  dan  Gunung  Singgalang  yang  menjadi  Luhak Agam,  menyusur Bukit  Barisan  ke  bagian  utara  menuju  Pasaman.  Yang  termasuk  di dalamnya  adalah  Agam  Tuo,  Tujuah  Lurah  Salapan  Koto,  masuk  pula  Lawang  dan Matur,  menurun  ke  Maninjau,  bernama  Ampek  Koto  dan  Anam  Koto,  Bonjol  dan Kumpulan.  Ada  pula  yang  jatuh  ke  Suliki.  Kebesaran  Luhak  Agam  adalah  "Urang Gadang",  diperintah  oleh  Tuan  Gadang  di  Batipuh,  Nan  malenggang  indak tapampeh,  nan  tagak  indak  tasondak,  urang  baraja  ka  hatinyo,  urang  basutan dimatonyo, bagala Harimau Campo Koto Piliang.  Dari Luhak Agam menyebar ke Padang, Ulakan, Kurai Taji, Tiku, Pariaman, sampai ke Sikilang, Aie Bangieh.  Luhak Limo Puluah yang terletak di daerah hilir, dibalik Gunung Sago, kebesarannya adalah "ba Datuak", yaitu setinggi-tingginya pangkat adalah "Datuak".  Luhak Limo Puluah dibagi tiga:   
1.  Luhak 
Mulai dari Simalanggang sampai ke Taram.  Masuk  di  dalamnya  Buayan  Sungai  Balantiak,  Sariak  -  Tambun  Ijuak,  Koto Tangah, Batu Ampa, Durian Gadang  - Babai, Koto Tinggi  - Aie Tabiak, Sungai Kamuyang,  Situjuh  -  Banda  Dalam,  Limbukan  -  Padang  Karambia,  Sicincin  - Aue Kuniang, Tiakar - Payo Basam, Taram - Bukik Limbuku, tiga dengan Batu Balang, Payokumbuah - Koto Nan Gadang. 


2.  Ranah 
Mulai dari Simalanggang sampai ke Tebing Tinggi Mungkar.  Masuk di dalamnya Gantiang - Koto Laweh, Suliki - Sungai Rimbang, Tiakar - Balai  Mansiro,  Tayeh  -  Simalanggang,  Piobang,  Sungai  Baringin,  Gurun  - Lubuk Batingkok, Tarantang dengan Sarilamak, Selok - Padang Laweh.   
3.  Lareh 
Mulai dari Taram sampai ke Pauh Tinggi.  Masuk di dalamnya Gaduik - Tabiang Tinggi, Sitanang - Muaro Lakin, Halaban dengan Ampalu, Surau - Labuah Gunuang. Dari  Luhak  Limo  Puluah  menyebar  pula  ke  Kuok,  Bangkinang,  Salo,  Aie  Tirih  dan Rambio.  Rantau  yang  lima  ini  disebut  juga  dengan  Limo  buang  Aie,  yang  baraja  ke  Banda Siak,  babako  (garis  keturunan  bapak)  ke  Limo  Paluh,  baibu  ke  Pagaruyung.  Balainya di Pangkalan Koto Baru.  Dari  Luhak  Nan  Tigo  inilah  menyebar  ke  Rantau  yang  diberi  nama  Rantau  Mudiak dan Rantau Hilir.  Adapun  yang  diberi  nama  dengan  Rantau  Hilir  dalah  daerah  sebelah  timur  Luhak, mulai  dari  Muaro  Takuang  Hilia,  Tanjuang  Simaliru  mudiak  dan  Pulau  Punjuang, Siguntua,  Sungai  Jambu,  Lubuak  Ulang-Aling,  Duriang  Siluang,  Lubuak  Gadang, Nangko,  Aka  Japang,  Lubuak  Malaka,  Bidarak  Alam,  Muaro  Ikua,  Abai,  Dusun Tangah,  Sungai Kunyik,  Koto Rambau, Buluah Kasok  dan  banyak lagi rantau sebelah ke hilir, hingga Durian Takuak Rajo.Yang bagian ke Kampar adalah Kampar Kiri, Kampar Kanan, Pangkalan dan Gunuang Sahilan,  Kuantan,  Batang  Hari,  Siak,  Indragiri,  dan  ada  pula  di  tanah  Melaka.  Disitu sampai  sekarang  yang  diberi  nama  dengan  Rantau  Minangkabau,  Baradaik  pusako turun ka kamanakan, yaitu Negeri Sembilan.  Adapun daerah Rantau Mudiak ialah daerah bagian barat, yaitu Pesisir yang panjang, yakni  sekalian  kuala,  teluk,  labuhan,  mulai  dari  lautan  Inderapura  sampai  ke  Banda Nan  Sapuluah.  Di  dalamnya  termasuk  Bayang,  Puluik-Puluik,  Taratak,  Tarusan, Lumpo,  Salido,  Painan,  Batang  Kapeh,  Surantih,  Ampiang  Parak,  Kambang,  Lakitan, Sungai  Tunu,  Punggasan,  Aie  Haji  sampai  ke  Inderapura,  yang  tiga  lurah  Tapan, Lunang,  Silauik,  ke  utara  sampai  ke  Taluak  Labuhan  Tigo,  lalu  ke  rantau  Sikudidi, rantau  Tiku,  Pariaman,  rantau  Pasaman  di  dalamnya  Padang,  Ujuang  Karang,  Pauh, Koto  Tangah,  Sintuak,  Lubuak  Aluang,  Toboh,  Pakandangan,  Ulakan,  Kurai  Taji, Tujuah Koto, Salapan Koto, Tiku, Pariaman, terus ke Sikiliang, Aie Bangieh, Gunuang Malintang,  terus  ke  tanah  darat,  yaitu  Panti,  Rao,  Lubuak  Sikapiang,  lalu  ke  Batu Basurek,  Sialang,  Balantak  Basi,  Gunuang  Patah  Sambilan,  sampai  ke  Durian  Takuk Rajo.  Dikarenakan negeri-negeri di  Luhak Nan Tigo itu  negeri yang tua, sedangkan negeri-negeri  di  rantau  adalah  anaknya  (perkembangannya),  maka  tidaklah  dapat  orang-orang dari rantau masuk sebagai sumando (beristri) ke negeri dalam Luhak, "anak tak boleh kawin dengan ibu."  Begitu  juga  sesama  negeri-negeri  dalam  Luhak,  negeri-negeri  yang  lebih  tua  tidak dapat  menerima  sumando  (kawin)  ke  negeri-negeri  yang  lebih  muda  darinya,  "adik tak boleh kawin dengan kakak." 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar