2. Ini Masih dalam perbaikan, dari http://balaiadat-marawa.blogspot.co.id


Mudah dan Jelas bukan??


Kasih Komentar Dong

Sabtu, 29 Oktober 2011

Asal Pusaka Turun Kepada Kemenakan 
Sutan  Balun  tinggal  cukup  lama  di  Tiku,  Pariaman.  Suatu  ketika,  Tuanku  Rajo  Tuo menyuruh  membuat  sebuah  perahu  besar.  Setelah  perahu  itu  selesai,  maka  hendak diturunkan  ke  kuala.  Maka,  ikutlah  semua  orang  dalam  negeri  itu  untuk  bersama-sama menarik dan menurun perahu tersebut. Namun, perahu itu tidak dapat tertarik sedikitpun juga.  Maka,  bertanyalah  Tuanku  Rajo  Tuo,  "Adakah  orang  di  dalam  negeri  kita  yang masih tinggal?". Dijawab oleh Syahbandar, "Ada Tuanku!  Seorang anak muda yang tinggal di rumah Tuanku."  Maka  Tuanku  Rajo  Tuo  menyuruh  memanggil  Sutan  Balun,  dan  iapun  segera  datang ke  tempat  tersebut  dan  dicobalah  kembali  bersama-sama  menarik  perahu  tersebut, namun tetap tidak bisa.   Maka  orang  ramai  bertanya  kepada  Sutan  Balun,  "Apakah  perahu  ini  akan  dapat dipindahkan atau tidak?" Dijawab  oleh  Sutan  Balun, "Kalau  hamba  sendiri  yang  menariknya, mungkin  akan dapat dipindahkan." Maka  orang  meminta  Sutan  Balun  untuk  menarik  perahu  itu  seorang  diri.  Sutan Balun  membakar  kemenyan,  lalu  diasapinya  perahu  itu  disekelilingnya,  kemudian dicobanya menarik seorang diri, tetapi tetap tidak mau. Maka berkatalah Sutan Balun kepada  Tuanku  Rajo  Tuo,  "Perahu  ini  tidak  mau  turun  ke  kuala  kecuali  digalang dengan  tubu  manusia.  Yang  bisa  menjadi  galangnya  hanyalah  anak  atau kemenakan. Jikalau tidak demikian, maka perahu ini tidak akan mau diturunkan ke kuala." Maka  dipanggillah  anak  Tuanku  Rajo  Tuo,  tetapi  dia  tidak  mau  karena  dicegah  oleh mamaknya  yang  laki-laki.  Kemudian,  dipanggillah  kamanakan  (ponakan)  baginda. Iapun  datang  dengan  gembira  dan  mau  menjadi  galang  perahu  tersebut.  Dibawanya pakaian serta  kasur dan  bantal untuk tempat ia berbaring, karena  ia  berfikir pastilah ia  akan  mati.  Lalu,  tidurlah  ia  diatas  perahu  dihaluan  perahu.  Maka,  Sutan  Balun melecut  perahu  itu  dengan  tujuh  helai  lidi.  Melompatlah  perahu  itu  terjun  ke  dalam kuala, sedang kamanakan raja, jangan tertindih, kena sedikitpun tidak.   Berkatalah Cati Bilang Pandai, yang merupakan menteri dari Tuanku Rajo Tuo:  "Sejak  dahulu  sampai  sekarang,  seluruh  harta  pusaka,  sawah  dan  ladang, emas  dan  perak  diwariskan  kepada  anak  semuanya.  Maka,  mulai  sekarang ini,  tidaklah  harus  pusaka  itu  diturunkan  kepada  anak  lagi,  melainkan kepada  Kamanakan,  dikarenakan  anak  hanya  mau  menerima  yang  baik-baik  saja.  Apabila  ada  yang  buruk,  maka  dia  tidak  suka  dan  akan  dicegah oleh mamaknya. Sedangkan Kamanakan mau menanggung baik dan buruk, walaupun  nyawanya  sendiri  yang  akan  hilang,  tetap  mau  ia melakukannya." Sejak  itu,  maka  harta  pusaka  tinggi  (tanah,  sawah,  rumah  adat)  diwariskan  kepada kamanakan. Mamak tidak berhak memberikan atau mewariskan pusaka tinggi kepada anaknya.  Orang-orang yang tinggal di Minangkabau dan tidak mempunyai harta pusaka tinggi, yang  hidupnya  sejak  dari  lahir  hanya  diasuh  oleh  ibu  dan  bapaknya,  bolehlah  ia mewariskan pencariannya kepada anaknya atau membagi dengan kamanakannya.  Tuanku Rajo Tuo juga menghadiahkan pakaian kamanakan kepada Sutan Balun yang menjadi  tanda  persaudaraan  antara  kamanakan  Tuanku  Rajo  Tuo  dengan  Sutan Balun, yang dianggapnya pula sebagai kamanakan kandungnya. 


Nagari Yang Pertama Di Alam Minangkabau
Kemudian tersiar kabar, ada seorang raja yang datang dari Tanah Hindu bernama
Sang Sapurba dan mendarat di Bukit Siguntang-guntang, tanah Palembang. Disana ia
kawin dengan seorang putri raja Lebar Daun yang berkuasa di Palembang. Mereka
mendapatkan dua orang anak laki-laki dan dua orang anak perempuan. Kedua anak
laki-laki itu bernama Sang Nila Utama dan Sang Maniaka. Yang perempuan bernama
Cendera Dewi dan Bilal Daun.
Lalu Sang Sapurba pergi berlayar dan masuk ke sungai Inderagiri. Sungai itu
ditelusuri dan sampailah rombongan tersebut ke Lagundi Nan Baselo. Sang Sapurba
memakai mahkota yang bercabang-cabang seperti tanduk rusa, sehingga dikiaskan
dengan "Rusa yang datang dari laut". Ia memohon bicara dengan Datuk Suri Dirajo,
seorang dari keturunan anak raja Seri Maharaja Diraja, seseorang yang dituakan
untuk memimpin Lagundi Nan Baselo. Ia merupakan seorang cerdik pandai, yang
mendapatkan ilmu pengetahuan dari batarak (bertapa) dalam sebuah gua di Gunung
Merapi.
Karena orang di daerah ini tidak mau menganggap dia sebagai raja, maka pindahlah ia
ke daerah Batu Gadang, dengan menyandang pedang panjang melalui padang rumput
yang panjang. Maka oleh Datuk Suri Dirajo dinamailah  negeri tersebut dengan
Padang Panjang.
Karena Pariangan dan Padang Panjang letaknya berdekat-dekatan, maka sering
disebut dengan Pariangan-Padang Panjang. Inilah negeri yang mula-mula ada di Alam
Minangkabau. Hal ini juga berarti, walaupun raja pindah ke daerah Batu Gadang,
namun sebenarnya tempat tersebut tidaklah dikuasai oleh raja, melainkan tetap
masuk ke dalam kekuasaan Pariangan.
Bermufakatlah masyarakat di Pariangan-Padang Panjang untuk mengangkat empat
orang penghulu dalam kedua negeri tersebut, yaitu:
1.
Datuk Sri Maharajo
2.
Datuk Maharajo Gadang
3.
Datuk Bandaharo Kayo
4.
Datuk Sutan Maharajo Gadang
Maka didirikanlah sebuah balai tempat bermusyawarah para penghulu dengan cerdik
pandai. Itulah yang merupakan balai asal di Minangkabau.
Suatu ketika, Sang Sapurba membunuh Katin Muno, seorang yang zalim. Peristiwa ini
dikiaskan dengan, "Ula Gadang panghabisan padi di ladang." Mata pedang raja
sumbing semuanya dikarenakan Katin Muno memiliki tubuh yang besar dan kulitnya
keras. Panjang kuburannya enam puluh hasta dibuatkan orang. Kuburan itu sekarang
disebut orang dengan "Kuburan Datuk Tan Tejo Rono". Inilah nenek moyang orang
Sikumbang di Pariangan.
Beberapa lama kemudian, kawinlah Sang Sapurba dengan saudara perempuan dari
Datuk Suri Dirajo yang bernama Indo Julita.



Suatu saat, Daulat Yang Dipertuan itu menyuruh para Cati Bilang Pandai untuk
mencari tempat yang akan dijadikan sebuah negeri. Setelah dapat daerah yang baik,
maka turunlah raja ke ranah Bungo Satangkai (sekarang Sungai Tarab), membawa
tujuh orang laki-laki dan tujuh orang perempuan untuk membuat negeri disana.
Disusul pula oleh delapan orang laki-laki dan delapan orang perempuan. Raja berdiri
di atas sebuah batu dekat Batang Air Sungai Tarab sekarang dan bertitah menyuruh
orang-orang tersebut mengatur tiap-tiap dusun, koto dan negeri. Setelah itu, rajapun
pulang kembali ke Pariangan-Padang Panjang.
Beberapa lama kemudian, lahirlah seorang anak laki-laki raja dari Indo Julita. Anak
itu dinamai dengan Sutan Paduko Basa, yang kemudian bergelar Datuk
Katumanggungan.
Tidak berapa lama kemudian, meninggallah Daulat Yang Dipertuan. Kemudian, putri
Indo Julita kawin lagi dengan Indo Jati, seorang bertuah dalam negeri, tempat orang
berguru dan bertanya. Dari perkawinan itu lahirlah dua orang laki-laki dan empat
orang perempuan. Anak laki-laki yang tua dinamakan Sutan Balun yang kemudian
bergelar Datuk Perpatih Nan Sabatang, yang kedua bernama Mambang Sutan yang
kemudian bergelar Seri Maharajo Nan Sekalap Dunie. Yang perempuan bernama
Reno Mandah, Reno Sudi, Reno Judah dan Gadih Jamilan.
Masa kecilnya, Sutan Balun sering berkelahi dengan Sutan Paduko Basa. Suatu ketika,
kepala Sutan Balun luka  dibagian sebelah kanan, karena dipukul oleh Sutan Paduko
Basa.
Suatu saat, Indo Jati pergi bertapa ke dalam rimba yang sangat lebat. Bertanyalah
Sutan Balun kepada ibunya, dimanakah gerangan si Bapak. Ibunya menjawab,
"apabila engkau hendak mencari bapakmu, pergilah masuk ke dalam rimba raya
itu. Ketika engkau mendengar burung elang berkulik, panggilah bapakmu disana."
Maka, berjalanlah Sutan Balun masuk ke dalam rimba tersebut. Ketika sampai di
sebuah batang kayu besar, berhentilah ia disana. Terdengarlah olehnya burung elang
berkulik, lalu menyerulah ia memanggil bapaknya. Datanglah Indo Jati, lalu dipeluk
dan diciumnyalah anaknya itu. Berkata Indo Jati kepada Sutan Balun,
"Akulah
ayahmu, tinggallah engkau disini bersamaku, supaya aku ajari engkau ilmu kuat
dan kebal, ilmu bersopan-santun dan ilmu lainnya."
Tinggallah Sutan Balun bersama ayahnya mempelajari berbagai macam ilmu
kepandaian. Setelah cukup, maka pulanglah ia kembali kepada ibunya untuk meminta
izin karena ia hendak pergi berjalan ke negeri orang lain.
Lalu, berjalanlah ia ke Tiku, Pariaman. Disana ia menginap di rumah Tuan
Machudum. Raja di daerah itu bertempat di Limau Kapeh yang bergelar Tuanku Rajo
Tuo, nenek dari Cik Tunggal Magek Jabang. Oleh Tuanku Rajo Tuo, Sutan Balun
diangkat sebagai anak dikarenakan pandai dalam adat raja, adat sembah-menyembah
dan pandai pula dalam bersopan santun.