Asal Pusaka Turun Kepada Kemenakan
Sutan Balun
tinggal cukup lama
di Tiku, Pariaman.
Suatu ketika, Tuanku
Rajo Tuo menyuruh membuat
sebuah perahu besar.
Setelah perahu itu
selesai, maka hendak diturunkan ke kuala. Maka,
ikutlah semua orang
dalam negeri itu
untuk bersama-sama menarik dan
menurun perahu tersebut. Namun, perahu itu tidak dapat tertarik sedikitpun
juga. Maka, bertanyalah
Tuanku Rajo Tuo,
"Adakah orang di
dalam negeri kita
yang masih tinggal?". Dijawab oleh Syahbandar, "Ada
Tuanku! Seorang anak muda yang tinggal
di rumah Tuanku." Maka Tuanku
Rajo Tuo menyuruh
memanggil Sutan Balun,
dan iapun segera
datang ke tempat tersebut
dan dicobalah kembali
bersama-sama menarik perahu
tersebut, namun tetap tidak bisa.
Maka orang ramai
bertanya kepada Sutan
Balun, "Apakah perahu
ini akan dapat dipindahkan atau tidak?"
Dijawab oleh Sutan
Balun, "Kalau hamba sendiri
yang menariknya, mungkin akan dapat dipindahkan." Maka orang
meminta Sutan Balun
untuk menarik perahu
itu seorang diri.
Sutan Balun membakar kemenyan,
lalu diasapinya perahu
itu disekelilingnya, kemudian dicobanya menarik seorang diri,
tetapi tetap tidak mau. Maka berkatalah Sutan Balun kepada Tuanku
Rajo Tuo, "Perahu
ini tidak mau
turun ke kuala
kecuali digalang dengan tubu
manusia. Yang bisa
menjadi galangnya hanyalah
anak atau kemenakan. Jikalau tidak
demikian, maka perahu ini tidak akan mau diturunkan ke kuala." Maka dipanggillah
anak Tuanku Rajo
Tuo, tetapi dia
tidak mau karena
dicegah oleh mamaknya yang
laki-laki. Kemudian, dipanggillah
kamanakan (ponakan) baginda. Iapun datang
dengan gembira dan
mau menjadi galang
perahu tersebut. Dibawanya pakaian serta kasur dan
bantal untuk tempat ia berbaring, karena
ia berfikir pastilah ia akan
mati. Lalu, tidurlah
ia diatas perahu
dihaluan perahu. Maka,
Sutan Balun melecut perahu
itu dengan tujuh
helai lidi. Melompatlah
perahu itu terjun
ke dalam kuala, sedang kamanakan
raja, jangan tertindih, kena sedikitpun tidak.
Berkatalah Cati Bilang Pandai, yang merupakan menteri dari Tuanku Rajo
Tuo: "Sejak dahulu
sampai sekarang, seluruh
harta pusaka, sawah
dan ladang, emas dan
perak diwariskan kepada
anak semuanya. Maka,
mulai sekarang ini, tidaklah
harus pusaka itu
diturunkan kepada anak
lagi, melainkan kepada Kamanakan,
dikarenakan anak hanya
mau menerima yang
baik-baik saja. Apabila
ada yang buruk,
maka dia tidak
suka dan akan
dicegah oleh mamaknya. Sedangkan Kamanakan mau menanggung baik dan
buruk, walaupun nyawanya sendiri
yang akan hilang,
tetap mau ia melakukannya." Sejak itu,
maka harta pusaka tinggi
(tanah, sawah, rumah
adat) diwariskan kepada kamanakan. Mamak tidak berhak
memberikan atau mewariskan pusaka tinggi kepada anaknya. Orang-orang yang tinggal di Minangkabau dan
tidak mempunyai harta pusaka tinggi, yang
hidupnya sejak dari lahir
hanya diasuh oleh
ibu dan bapaknya,
bolehlah ia mewariskan
pencariannya kepada anaknya atau membagi dengan kamanakannya. Tuanku Rajo Tuo juga menghadiahkan pakaian
kamanakan kepada Sutan Balun yang menjadi
tanda persaudaraan antara
kamanakan Tuanku Rajo
Tuo dengan Sutan Balun, yang dianggapnya pula sebagai
kamanakan kandungnya.